Oleh : Galih Ardin Dipublikasikan oleh : Kompas  Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD) telah disahkan oleh pemerintah b...

Pajak dalam Pusaran Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Oleh : Galih Ardin
Dipublikasikan oleh : Kompas

 Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD) telah disahkan oleh pemerintah bersama DPR. Melalui UU yang lahir pada masa pandemi ini, pemerintah berharap bisa mendorong pengalokasian sumber daya nasional dengan lebih efektif dan efisien melalui hubungan keuangan pusat dan daerah yang lebih transparan, akuntabel, dan berkeadilan.



Terdapat beberapa perubahan dalam UU ini, salah satunya adalah besaran dana bagi hasil (DBH) yang bersumber dari pajak. Pasal 14 UU HKPD mengatur DBH yang bersumber dari pajak terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), PPh Pasal 21, serta PPh Pasal 25 dan 29 Orang Pribadi.


Lebih lanjut, dalam UU HKPD juga diatur bahwa DBH yang bersumber dari PBB ditetapkan 90 persen dengan rincian 18 persen untuk provinsi dan 72 persen untuk kabupaten atau kota bersangkutan. Di sisi lain, DBH yang bersumber dari PPh Pasal 21, PPh Pasal 25/29 orang pribadi ditetapkan sebesar 20 persen dengan rincian 8 persen untuk provinsi dan 12 persen untuk kabupaten/kota bersangkutan.


Meningkatkan kapasitas keuangan daerah


Pada dasarnya bagi hasil pajak bukan hal baru di Indonesia. Jauh sebelum PBB sektor perdesaan dan perkotaan dialihkan pengelolaannya ke pemerintah daerah, pemerintah pusat telah memberikan bagi hasil PBB dan PPh kepada pemda bersangkutan melalui UU No 33/2004. Tujuannya jelas, untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah.


Berkaca dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2020 diketahui bahwa penerimaan PBB pada 2020 adalah Rp 20,95 triliun (Kementerian Keuangan, 2021). Di sisi lain, penerimaan PPh Pasal 21 sebesar Rp 139,58 triliun dan penerimaan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi Rp 11,86 triliun.


Apabila diasumsikan bahwa penerimaan perpajakan tahun berikutnya sama dengan 2020, paling tidak pemda akan menerima Rp 18,85 triliun dari DBH PBB, Rp 27,92 triliun dari DBH PPh Pasal 21 dan Rp 2,32 triliun dari DBH PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi.


Tantangan di lapangan


Sampai di sini kita dapat melihat bahwa pemberian DBH yang bersumber dari pajak akan meningkatkan kapasitas keuangan pemda berkali lipat.


Meski demikian, pemberian DBH itu bukan tanpa tantangan. Perbedaan potensi ekonomi dan jumlah penduduk usia produktif setiap daerah, ketergantungan keuangan daerah pada DBH perpajakan, serta potensi kebijakan circular membuat pemberian DBH pajak justru semakin memperuncing disparitas ekonomi setiap daerah.


Sebagaimana diketahui bahwa sesaat sebelum UU KHPD disahkan, pemerintah bersama DPR telah mengesahkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Salah satu isu yang diangkat dalam UU HPP adalah penggunaan NIK sebagai NPWP. Secara logis, penggunaan NIK sebagai NPWP ini akan meningkatkan jumlah wajib pajak orang pribadi yang pada akhirnya akan meningkatkan setoran PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25 Orang Pribadi.


Selanjutnya, berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan BPS pada 2020 juga diketahui bahwa 56,1 persen penduduk Indonesia terkonsentrasi di Jawa dan 91,32 persen penduduk berdomisili sesuai kartu keluarga (BPS, 2021).


Apabila ketiga fakta ini kita hubungkan, agaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwa pemerintah daerah yang berada di Pulau Jawa akan mendapatkan DBH perpajakan yang lebih besar. Di sisi lain, pemda dengan jumlah penduduk rendah umumnya akan menerima DBH perpajakan yang rendah yang pada akhirnya akan memperlebar jurang ketimpangan antardaerah.


Tantangan kedua yang mungkin timbul adalah adanya kebijakan yang saling memengaruhi antara pemerintah pusat dengan pemda. Dengan adanya DBH perpajakan, sedikit banyak pemda akan bergantung kepada pemerintah pusat dalam hal pembiayaan APBD.


Di sisi lain, pemda juga mempunyai kewenangan untuk menerbitkan kebijakan yang berdampak terhadap penerimaan pajak terutama dalam hal kemudahan berusaha, penetapan upah minimum regional (UMR) dan penerbitan surat keterangan domisili (SKD).


Memang, pada saat ini umumnya UMR masih berada di bawah pendapatan tidak kena pajak (PTKP). Tapi bukan tak mungkin suatu saat UMR di suatu daerah akan melebihi PTKP yang pada akhirnya menyebabkan stuck in policy circle.


Reformasi perpajakan daerah


Untuk mengatasi tantangan tersebut, pada dasarnya ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan. Pertama, di samping memberikan DBH perpajakan, pemerintah juga perlu mengoptimalkan penerimaan pajak yang pungut oleh pemda dengan cara melakukan reformasi sistem perpajakan daerah.


Reformasi tersebut dapat dimulai dengan menetapkan standar pendaftaran, pengawasan, pemungutan, dan pelaporan pajak daerah yang terintegrasi. Hal ini dimaksudkan agar terjadi kesamaan persepsi antar daerah mengenai subyek obyek pajak daerah.


Kedua, alih-alih memberikan DBH PPh Pasal 25 Orang Pribadi, akan lebih baik apabila pemerintah memberikan DBH PPh Final PP 23 UMKM. Hal ini bertujuan agar DBH tersebut dapat digunakan kembali oleh pemda setempat untuk pengembangan UMKM yang umumnya menjadi fondasi dan roda penggerak perekonomian daerah. Di saat industri besar bertumbangan pada masa krisis ekonomi 1998, UMKM terbukti tangguh dalam melewati krisis tersebut (Boediono, 2016).


Di saat industri besar bertumbangan pada masa krisis ekonomi 1998, UMKM terbukti tangguh dalam melewati krisis tersebut (Boediono, 2016).


Ketiga, pemerintah perlu menjaga agar tak terjadi stuck dalam policy circle dengan cara memberikan kewenangan ke pemerintah pusat untuk melakukan pengaturan ulang peraturan daerah yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih.


Pada akhirnya, kita berharap semoga ketentuan sebagaimana diatur dalam UU HKPD akan meningkatkan kemandirian, transparansi, akuntabilitas dan profesionalitas pengelolaan keuangan daerah yang  berdampak positif pada pelayanan publik di daerah.

0 komentar: