Oleh : Galih Ardin Dipublikasikan Oleh : pajak.go.id Undang – undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) telah di sahkan. Melalui sebuah proses ...

Fringe Benefit Tax: Antara Peluang dan Tantangan

Oleh : Galih Ardin
Dipublikasikan Oleh : pajak.go.id

Undang – undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) telah di sahkan. Melalui sebuah proses yang panjang, eksursif dan delibratif, UU yang terlahir pada masa pandemi tersebut pada akhirnya diteken oleh Presiden bersama dengan DPR.

Terdapat beberapa isu baru dalam UU tersebut, salah satunya adalah pengenaan pajak atas penghasilan nontunai atau yang biasa disebut natura. Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a UU HPP, pemerintah mengatur bahwa penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk natura dan/atau kenikmatan menjadi objek pajak penghasilan.

Padahal dalam peraturan sebelumnya diatur bahwa natura atau kenikmatan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi seperti fasilitas transportasi, perumahan, telekomunikasi, pengobatan, dan lain sebagainya dikecualikan dari objek pajak. Di sisi lain, bagi pemberi penghasilan, biaya natura tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan.

Menurut penulis, terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi keputusan pemerintah untuk menerapkan pajak atas penghasilan nontunai tersebut. Pertama, pengenaan pajak atas natura akan mendorong terwujudnya sistem pemajakan yang adil. Sebagaimana diketahui bahwa dewasa ini pemberian penghasilan nontunai berupa fasilitas kesehatan, perumahan, transportasi, dan telekomunikasi merupakan hal yang wajar diberikan oleh perusahaan. Bahkan semakin tinggi jabatan seseorang maka penghasilan nontunai yang diterima akan semakin besar.

Sehingga, apabila penghasilan atas fasilitas nontunai tersebut tidak dikenakan pajak, maka yang akan terjadi adalah distorsi pengenaan pajak. Artinya, karyawan berpenghasilan rendah yang tidak menerima fasilitas akan menanggung beban pajak yang lebih tinggi daripada karyawan yang menerima penghasilan nontunai.

Kedua, pajak atas natura akan mewujudkan sistem pemajakan yang solid. Melalui UU HPP pemerintah mengatur bahwa tarif pajak penghasilan orang pribadi dengan penghasilan di atas lima miliar rupiah naik menjadi 35%. Oleh karenanya, agar tidak terjadi perencanaan pajak berupa pengalihan penghasilan tunai menjadi penghasilan nontunai oleh wajib pajak berpenghasilan tinggi maka pajak atas natura merupakan solusi yang tepat.

Ketiga, pajak atas natura dapat memperluas basis pemajakan dan menjadi sumber penerimaan pajak baru sebagaimana diungkap oleh peneliti Massey University (2007). Selain itu, pengenaan pajak atas natura juga dapat mendorong pemberi kerja untuk memberikan penghasilan dalam bentuk tunai.

Beberapa negara telah terlebih dahulu mengenakan Fringe Benefit Tax (FBT) seperti Australia, Selandia Baru, dan India. Selandia Baru sendiri telah memberlakukan FBT sejak tahun 2007. Melalui Income Tax Act 2007, pemerintah Selandia Baru mengatur bahwa pemberian penghasilan maupun imbalan nontunai terutang pajak bagi penerima penghasilan. Sedangkan bagi pemberi kerja, pemberian imbalan nontunai tersebut dapat dibiayakan dalam laporan keuangannya.

Menurut Mukherjee (2012), FBT mempunyai dampak yang lebih besar terhadap karyawan berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan karyawan berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, tepat kiranya apabila FBT dikenakan untuk menghindari adanya perencanaan pajak atas penambahan lapisan PPh Orang Pribadi di Indonesia. Selain itu, Mukherjee (2012) juga menyebutkan bahwa kenaikan FBT sebesar 1% akan meningkatkan gaji atau penghasilan karyawan sebesar 1%. Lebih lanjut, Mukherjee (2012) juga menyampaikan bahwa pemberian penghasilan dalam bentuk natura akan mendorong produktifitas karyawan.

Dari sudut pandang mikro ekonomi, pengenaan FBT akan memudahkan pemerintah atau pengambil kebijakan dalam melakukan pengukuran dan evaluasi terhadap income effect dan substitution effect apabila dilakukan perubahan ketentuan perpajakan. Dari sisi makro ekonomi, penerapan FBT dapat dipandang sebagai salah satu sumber penerimaan pajak yang diandalkan dalam upaya menggenjot belanja pemerintah.

Berdasarkan hal–hal tersebut di atas untuk mewujudkan keadilan pajak sekaligus sebagai upaya untuk menambah sumber penerimaan baru, maka sudah tepat kiranya kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk menerapkan pajak atas natura.

Namun demikian, penerapan pajak atas natura tersebut bukan tanpa risiko. Belum diaturnya mekanisme pelaporan, pemungutan dan penyetoran pajak atas natura membuat kebingungan bagi wajib pajak. Agar pajak atas natura tersebut tidak kontraproduktif dengan upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi maka ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah. Pertama, pemerintah perlu memberikan definisi yang jelas mengenai imbalan atau penghasilan apa saja yang dikenakan pajak atas natura. Selain itu, pemerintah juga perlu menetapkan batasan minimal penghasilan yang dikenakan pajak atas natura tersebut. Hal ini semata–mata bertujuan untuk melindungi masyarakat berpenghasilan rendah.

Kedua, tarif pajak atas natura seyogianya lebih rendah daripada tarif terendah PPh Orang Pribadi. Hal ini dimaksudkan untuk menarik minat wajib pajak untuk melaporkan penghasilan yang diterimanya baik secara tunai maupun nontunai. Namun demikian, secara bertahap pemerintah dapat menaikkan tarif FBT untuk mencegah pemberi kerja mengalihkan beban operasional menjadi natura.

Ketiga, dari segi proses bisnis, pemerintah dapat mendesain FBT sebagai withholding tax. Pemberi kerja mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan dan pelaporan pajak atas penghasilan nontunai yang diberikan kepada karyawannya. Tujuannya jelas, untuk memudahkan wajib pajak dalam menunaikan kewajiban perpajakannya.

Keempat, pengenaan FBT harus dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Artinya, perlu strategi komunikasi yang baik dalam mengoomunikasikan pajak atas natura tersebut. Hal ini bertujuan untuk mencegah penurunan tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

0 komentar: