Isu pemisahan fungsi penerimaan pajak dan penerimaan kepabeanan – cukai dari Kementerian Keuangan semakin menguat. Hal ini mencuat setelah KPU menetapkan pasangan Prabowo Subianto dan Gribran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
Memang, dalam dokumen visi dan misi Prabowo Gibran disebutan bahwa pembentukan Badan Penerimaan Negara merupakan salah satu program prioritas dalam mewujudkan Indonesia emas 2045 (Subiyanto & Raka, 2023). Selain itu, dalam dokumen visi misi yang diusung pasangan presiden terpilih juga menyebtkan bahwa rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ditargetkan sebesar 23%.
Pertanyaan besar muncul. Apakah pembentukan Badan Penerimaan Negara efektif mewujudkan rasio penerimaan negara terhadap PBD sebesar 23%? Padahal sebagaimana diketahui bahwa selama ini tax ratio Indonesia selalu dibawah 12%. Dalam laporannya, OECD (2022) menyampaikan bahwa pada tahun 2021, rasio perpajakan Indonesia adalah sebesar 10,9%. Angka ini berada dibawah ambang rata – rata asia pasifik sebesar 19,8% dan juga dibawah rata – rata OECD sebesar 34,1% (OECD, 2022).
|
Tahun |
Indonesia Tax Ratio |
OECD Average |
Asia Pacific Average |
|
2010 |
11,4 |
31,5 |
18,6 |
|
2011 |
12,2 |
31,9 |
18,9 |
|
2012 |
12,5 |
32,4 |
19,5 |
|
2013 |
12,5 |
32,6 |
19,6 |
|
2014 |
12,2 |
32,9 |
19,1 |
|
2015 |
12,1 |
32,9 |
19,2 |
|
2016 |
12,0 |
33,6 |
18,9 |
|
2017 |
11,6 |
33,3 |
19,7 |
|
2018 |
12,0 |
33,5 |
20,2 |
|
2019 |
11,6 |
33,4 |
20,5 |
|
2020 |
10,1 |
33,6 |
19,6 |
|
2021 |
10,9 |
34,2 |
19,8 |
Sumber: OECD, 2022
Pada dasarnya, terdapat banyak kajian yang membahas mengenai efektifitas pemisahan fungsi perpajakan dari Kementerian Keuangan. Kajian dari Asian Development Bank, misalnya, menunjukkan bahwa secara umum fungsi pemungutan pajak berada di bawah Kementerian keuangan (Araki & Claus, 2014). Namun karena beberapa alasan, maka diperlukan suatu badan otonom diluar Kementerian keuangan untuk melaksanakan fungsi administrasi perpajakan.
Lebih lanjut, ADB juga menyebutkan bahwa alasan utama dibalik dibentuknya suatu badan otonom untuk menyelenggarakan administrasi perpajakan adalah karena alasan ukuran administrasi perpajakan yang sudah terlalu gemuk. Seringkali fungsi administrasi perpajakan di bawah Kementerian keuangan menjadi kurang efektif apabila dijalankan oleh organisasi dengan pegawai yang terlalu banyak. Oleh sebab itu, pembentukan badan otonom yang mandiri yang bebas dari pengaruh politis dapat menjadi pilihan.
ADB menyebutkan bahwa selain akan membawa efektifitas dan efisiensi pemungutan pajak, pembentukan badan semi otonom pemungutan pajak akan memberikan keleluasaan dalam pengaturan kebijakan kepegawaian, kemudahan dalam pengimplementasian reformasi perpajakan dan fleksibilitas dalam investasi di bidang teknologi informasi.
Merujuk kajian yang disusun oleh ADB, kiranya rencana presiden dan wakil presiden terpilih untuk membentuk Badan Penerimaan Negara merupakan pilihan yang tepat. Terlebih, berdasarkan laporan tahunan DJP tahun 2022 diketahui bahwa jumlah pegawai DJP dari tahun 2018 sampai dengan 2022 berjumlah 44.787 sampai dengan 46.221 pegawai. Di sisi lain, jumlah wajib pajak dari tahun 2018 sampai dengan tahun 2022 berjumlah antara 42.536.341 sampai dengan 70.291.585 (DGT, 2023).
Apabila kedua fakta ini kita gabungkan, maka secara umum setiap pegawai DJP akan mengampu sekitar 938 sampai 1.569 wajib pajak. Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan implementasi NIK menjadi NPWP. Sehingga, apabila tidak terdapat upaya perbaikan maka mustahil tax ratio sebesar 23% yang telah dicanangkan dapat tercapai.
|
No |
Tahun |
Jumlah Wajib Pajak |
Jumlah Pegawai |
Jumlah Wajib Pajak per Pegawai DJP |
|
1 |
2018 |
42.536.341 |
45.344 |
938 |
|
2 |
2019 |
45.927.569 |
46.607 |
985 |
|
3 |
2020 |
49.845.432 |
46.221 |
1.078 |
|
4 |
2021 |
66.351.573 |
45.382 |
1.462 |
|
5 |
2022 |
70.291.585 |
44.787 |
1.569 |
Sumber: Laporan Tahunan DJP 2022
Namun, perlu diingat bahwa pembentukan badan otonom perpajakan tidak dapat serta merta meningkatkan penerimaan perpajakan dalam waktu instan. Butuh banyak penyesuaian terutama dalam ranah regulasi dan peraturan. Selain itu, pembentukan badan otonom tanpa diimbangi dengan perbaikan struktur pemungutan pajak akan menjadi sesuatu yang sia – sia.
Bahkan, berdasarkan data Kementerian Keuangan diketahui bahwa penerimaan perpajakan di Indonesia masih sangat bergantung terhadap harga komoditas dan kebijakan khusus seperti Program Pengungkapan Sukarela (DDTC, 2022). Ketika harga komoditas sedang tinggi, kontribusinya dapat mencapai 10% sampai dengan 20% terhadap penerimaan pajak yang pada akhirnya berpengaruh terhadap tax ratio.
Namun sayangnya, harga komoditas tidak selamanya tinggi. Kuartal pertama tahun 2024 misalnya, Kementerian Keuangan melaporkan bahwa terjadi perlambatan pada penerimaan pajak. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, penerimaan pajak kuartal I tahun 2024 mengalami kontraksi sebesar 3,7% year on year (yoy). Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyebutkan bahwa perlambatan penerimaan pajak tersebut disebabkan karena penurunan harga komoditas yang sudah dimulai sejak setahun yang lalu (Kontan, 2024).
Memang, pada saat ini DJP Tengah mempersiapkan core tax system sebagai upaya reformasi sistem administrasi perpajakan. Sistem yang digadang – gadang mampu mendongkrak penerimaan dan kepatuhan pajak pada 2025 kelak (Kontan, 2014). Tapi, penerapan core tax system pada Juli 2024 juga merupakan suatu tantangan tersendiri bagi pemerintahan berikutnya. OECD (2022) menyampaikan bahwa setidaknya butuh waktu sepuluh tahun untuk mendapatkan hasil dari implementasi core tax system. Padahal, core tax system diharapkan memberikan kontribusi pada penerimaan negara secepat mungkin.
Berdasarkan hal – hal di atas, dapat disimpulkan bahwa saat ini merupakan momentum yang tepat untuk membentuk badan penerimaan negara sebagai otoritas pengumpul penerimaan perpajakan dan kepabeanan-cukai. Namun, pembentukan badan baru tersebut harus diiringi dengan perubahan fundamental pada sisi regulasi struktur penerimaan negara, sumberdaya manusia dan informasi teknologi. Selain itu, perlu sinergitas antar elemen agar dapat mewujudkan rasio perpajakan sebesar 23% pada akhir pemerintahan mendatang.
References
Araki, S., & Claus, I. (2014). A Comparative Analysis of Tax Administration in Asia and The Pacific. Manila: Asian Development Bank.
DDTC. (2022, September 5). Rasio Pajak Indonesia Masih Bergantung Komoditas, ini Kata Sri Mulyani. Retrieved from DDTC: https://news.ddtc.co.id/rasio-pajak-indonesia-masih-bergantung-komoditas-ini-kata-sri-mulyani-41720
DGT. (2023). Laporan Tahunan 2022: Bersama Dalam Semangat Reformasi, Menjadikan Kinerja Unggul Sebagai Tradisi. Jakarta: DGT.
Kontan. (2014, April 13). Implementasi Core Tax System Diperkirakan Mampu Mendongkrak Penerimaan Pajak. Retrieved from Kontan: https://nasional.kontan.co.id/news/implementasi-core-tax-system-diperkirakan-mampu-mendongkrak-penerimaan-pajak
Kontan. (2024, Maret 25). Penurunan Harga Komoditas Tekan Penerimaan Pajak. Retrieved from Kontan: https://nasional.kontan.co.id/news/penurunan-harga-komoditas-tekan-penerimaan-pajak
OECD. (2022). Case Study: Indonesia Core Tax Administration System Reform. Paris: OECD.
OECD. (2022). Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2023 ─ Indonesia. Paris: OECD.
Subiyanto, P., & Raka, G. R. (2023). Visi, Misi dan Program Calon Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029H Prabwo Subiyanto Gibran Rakabuming Raka. Jakarta: Gerinda.

0 Komentar