Oleh: Galih Ardin Dipublikasikan oleh: pajak.go.id  Pada Juli 2022, pemerintah secara resmi memperpanjang insentif pajak untuk wajib pajak ...

Agar Wajib Pajak Tidak Bergantung kepada Insentif Pajak

Oleh: Galih Ardin
Dipublikasikan oleh: pajak.go.id

 Pada Juli 2022, pemerintah secara resmi memperpanjang insentif pajak untuk wajib pajak terdampak wabah Covid-19.


Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 114/PMK.03/2022, pemerintah memberikan lima jenis insentif pajak untuk membantu wajib pajak. Insentif tersebut antara lain: Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan PPh Pasal 23 Ditanggung Pemerintah, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, PPh Final Peredaran Usaha tertentu DTP, dan PPh Final Jasa Konstruksi DTP.


Menilik ke belakang, pemberian insentif tersebut tidak lepas dari wabah Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020. Pada saat itu, tidak banyak yang kita ketahui mengenai virus Covid-19 dan bagaimana menanggulanginya. Yang kita tahu, virus yang melanda seluruh belahan bumi tersebut tidak hanya meluluhlantakkan sistem kesehatan, tetapi juga sistem ketahanan ekonomi. 


Pada dasarnya, ketika pandemi tersebut masuk ke Indonesia, indikator ekonomi sudah menunjukkan tanda – tanda kerawanannya. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun 2020 dilaporkan hanya mencapai 2,97%. Padahal, pada bulan Desember 2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu mencapai 5,02% (BPS, 2022). 



Demikian halnya dengan tingkat inflasi. BPS (2022), melaporkan bahwa pada bulan Maret 2020, tingkat inflasi Indonesia justru turun menjadi 0,1%. Padahal pada bulan sebelumnya, tingkat inflasi di Indonesia sebesar 0.28%. Penurunan tingkat inflasi ini menunjukkan telah terjadi penurunan permintaan agregat dalam ekonomi yang pada akhirnya memengaruhi penawaran agregat dan memicu peningkatan tingkat pengangguran.


Kondisi ini diperparah seiring dengan peningkatan kasus Covid-19 di Indonesia. BPS (2022) melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua tahun 2020 adalah sebesar -5,32%, inflasi sebesar 0,07, dan tingkat pengangguran sebesar 4,98. Sedangkan pada kuartal ketiga tahun 2020, pertumbuhan ekonomi dilaporkan sebesar -3,49%, inflasi sebesar -0,10, dan tingkat pengangguran sebesar 7,07. 


 


Meredam Guncangan


Untuk meredam dampak guncangan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19, pemerintah menerbitkan serangkaian kebijakan yang responsif dan adaptif. Salah satunya melalui kebijakan perpajakan.


Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020, pemerintah memberikan beberapa relaksasi perpajakan berupa penurunan tarif PPh Badan dan perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Insentif tersebut diharapkan mampu meningkatkan daya beli masyarakat sekaligus menekan biaya kepatuhan pajak. 


Selanjutnya, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020, pemerintah juga secara aktif memberikan beberapa insentif untuk meringankan beban wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Insentif tersebut diantaranya berupa pemberian PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP), pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, pemberian insentif PPh Final UMKM DTP, serta pemberian pengembalian pendahuluan PPN dipercepat.


Semua insentif tersebut diatas dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi wajib pajak untuk tetap bertahan dan berusaha di tengah penurunan permintaan dan penawaran agregat, kelangkaan persediaan, pembatasan interaksi sosial, dan keterbatasan modal.


 


Peran Eksekutor


Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai organisasi yang diamanahi peran sebagai eksekutor kebijakan insentif perpajakan berkepentingan untuk melakukan evaluasi atas efektivitas pemberian stimulus fiskal tersebut. Melalui survei pemulihan ekonomi nasional (PEN) tahap I dan tahap II, DJP berusaha memotret kondisi wajib pajak selama masa pandemi serta mengukur efektivitas insentif pajak dalam membantu wajib pajak melewati goncangan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi covid 19. 


Survei PEN tahap I dilaksanakan pada tanggal 21 Juli sampai dengan 7 Agustus 2020 dengan jumlah responden sebanyak 12.822 Wajib Pajak (Kemenkeu, 2021). Berdasarkan hasil Survei PEN I diketahui bahwa 86% responden mengalami penurunan penjualan selama masa pandemi. Kondisi ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh BPS (2021) yang menyatakan bahwa 82% pelaku usaha mengalami penurunan omzet pada masa pandemi. Survei PEN I juga mengungkap bahwa 24% responden telah melakukan pemberhentian sementara maupun PHK terhadap karyawannya (Kemenkeu, 2021).


Untuk melengkapi hasil survei PEN I sekaligus mengukur efektivitas insentif pajak, maka pada bulan Desember 2020, DJP menyelenggarakan survei PEN tahap II. Berdasarkan hasil survei PEN tahap II diketahui bahwa 6 dari 10 wajib pajak telah memanfaatkan insentif perpajakan. Selain itu, berdasarkan survei tersebut juga diketahui bahwa dua pertiga wajib pajak yang memanfaatkan insentif pajak menyatakan bahwa insentif pajak membantu kemampuan keuangan wajib pajak pada masa pandemi. 


Berdasarkan survei PEN II juga diketahui bahwa insentif pajak yang paling banyak dimanfaatkan oleh wajib pajak selama pandemi adalah insentif PPh Pasal 21 DTP yaitu sebesar 74%, disusul insentif pengurangan PPh Pasal 25 DTP sebesar 57%, dan insentif PPh Final UMKM DTP sebesar 25%.


 


Analisis Survivabilitas


Guna memotret lebih jauh mengenai efektivitas insentif pajak pada masa pandemi, maka DJP secara aktif melakukan analisis survivabilitas. Analisis survivabilitas dilakukan dengan cara melakukan komparasi kinerja ekonomi atas wajib pajak yang memanfaatkan insentif pajak dan yang tidak memanfaatkan insentif pada saat sebelum dan sesudah terjadinya pandemi covid 19 (Kemenkeu, 2021).


Berdasarkan hasil analisis survivabilitas diketahui bahwa wajib pajak yang memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP umumnya melakukan pengurangan karyawan yang lebih sedikit dibandingkan dengan wajib pajak yang tidak memanfaatkan insentif tersebut. Selain itu, melalui analisis survivabilitas juga terungkap bahwa wajib pajak yang memanfaatkan insentif PPh Pasal 22 impor umumnya mempunyai kinerja penjualan yang lebih baik dibandingkan dengan wajib pajak yang tidak memanfaatkan insentif ini.


Demikian halnya dengan wajib pajak yang memanfaatkan insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25 umumnya mengalami dampak penurunan omzet yang lebih ringan dibandingkan wajib pajak yang tidak memanfaatkannya. Terakhir, berdasarkan analisis survivabilitas juga diketahui bahwa wajib pajak yang memanfaatkan insentif pengembalian pendahuluan PPN dipercepat umumnya mengalami dampak penurunan penjualan ekspor yang lebih ringan daripada wajib pajak yang tidak memanfaatkan.


Berdasarkan hal tersebut di atas agaknya kita dapat melihat bahwa insentif pajak yang diterbitkan oleh pemerintah membantu wajib pajak bertahan dalam masa pandemi dan resesi ekonomi dengan cara memberikan ruang relaksasi terhadap wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.


Namun demikian, perlu diingat bahwa pemberian insentif harus bersifat timely, targeted, dan temporary. Artinya, intensif pajak harusnya hanya diberikan kepada industri yang benar-benar membutuhkan. Selain itu, intensif pajak juga harus mempunyai jangka waktu yang jelas. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dan kegiatan ekonomi wajib pajak tidak bergantung terhadap pemberian insentif.


Pada akhirnya kita berharap agar di masa mendatang Indonesia mempunya fundamental ekonomi yang kokoh yang siap terhadap berbagai ancaman ketidakpastian dan resesi namun tetap adaptif terhadap perkembangan zaman.


*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan merupakan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.


0 komentar: