Oleh: Galih Ardin Dipublikasikan oleh : pajak.go.id  Kurang dari sebulan lagi Program Pengungkapan Sukarela (PPS) akan berakhir. Program yan...

Manfaatkan Program Pengungkapan Sukarela Sebelum Terlambat

Oleh: Galih Ardin
Dipublikasikan oleh : pajak.go.id

 Kurang dari sebulan lagi Program Pengungkapan Sukarela (PPS) akan berakhir. Program yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan tersebut memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk mengungkapkan harta yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Melalui program ini pula wajib pajak dapat mengungkapkan harta yang kurang dilaporkan dalam SPT Tahunan tanpa dikenai sanksi administrasi.


Program ini sendiri dilatarbelakangi karena masih terdapat peserta amnesti pajak tahun 2016 yang belum mendeklarasikan seluruh asetnya. Selain itu, program ini juga dilatarbelakangi karena masih terdapat wajib pajak orang pribadi yang belum mengungkapkan seluruh penghasilannya dalam SPT Tahunan.


Sampai dengan pertengahan Juni 2022, sudah terdapat 68.762 wajib pajak yang telah mengikuti PPS dengan nilai uang tebusan sebesar Rp14,47 triliun (DJP, 2022). Adapun nilai harta bersih yang dideklarasikan dalam program ini adalah sebesar Rp144,40 triliun. Nilai harta bersih yang dideklarasikan tersebut terdiri dari deklarasi dalam negeri dan repatriasi sebesar Rp125,56 triliun, investasi sebesar Rp7,49 triliun, dan deklarasi luar negeri sebesar Rp11,14 triliun.



Berdasarkan data OECD (2019) dalam Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes diketahui bahwa sampai tahun 2019 sudah terdapat 97 negara yang berpartisipasi dalam pertukaran informasi keuangan, termasuk Indonesia. Melalui platform ini, setiap negara akan secara otomatis mengirimkan informasi keuangan kepada negara mitra.


OECD (2020) juga menyampaikan bahwa sampai dengan tahun 2019 terdapat lebih dari 250 ribu permintaan informasi keuangan yang masuk dengan nilai informasi yang dipertukarkan mencapai 4.9 triliun euro. Sebagai informasi, hampir 122 yurisdiksi telah menghilangkan sekat kerahasiaan bank untuk tujuan pertukaran data dan informasi perpajakan.


Di dalam negeri, isu kerahasiaan bank untuk tujuan perpajakan telah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012. Melalui beleid tersebut, pemerintah mengatur bahwa instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.


Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.03/2017, Pemerintah juga telah mengatur bahwa terdapat lebih dari 69 instansi, lembaga, asosiasi dan pihak lain yang berkewajiban menyampaikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak.


Berdasarkan data tersebut di atas, maka dapat dibayangkan ke depannya data dan informasi keuangan yang berkaitan dengan perpajakan akan mengalir deras dari instansi, lembaga, asosiasi dalam negeri maupun luar negeri.


Oleh karena itu, selagi kesempatan PPS masih terbuka maka tidak ada salahnya wajib pajak untuk mengikuti program tersebut. Untuk mengikuti program tersebut ada empat langkah mudah yang perlu dilakukan oleh wajib pajak. Pertama, wajib pajak perlu memastikan apakah pernah mengikuti program amnesti pajak 2016 atau tidak. Apabila wajib pajak pernah mengikuti program amnesti pajak 2016, maka berlaku kebijakan I. Untuk diketahui bahwa kebijakan pertama PPS ditujukan untuk wajib pajak orang pribadi maupun badan yang telah mengikuti amnesti pajak 2016 namun terdapat harta yang kurang dilaporkan. Tarif Pajak Penghasilan (PPh) final untuk kebijakan I adalah sebesar 11% untuk deklarasi dalam negeri, 8% untuk repatriasi aset luar negeri dan deklarasi aset dalam negeri (DN), dan 6% untuk repatriasi aset luar negeri (LN) dan deklarasi aset DN yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN)/hilirisasi/renewable energy.


Apabila wajib pajak tidak mengikuti amnesti pajak tahun 2016 maka berlaku kebijakan kedua. Kebijakan kedua ini ditujukan kepada wajib pajak orang pribadi yang tidak mengikuti amnesti pajak namun memiliki harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020. Tarif yang berlaku untuk kebijakan kedua sedikit lebih tinggi, untuk deklarasi LN adalah sebesar 18%, untuk repatriasi LN dan deklarasi DN sebesar 14%, dan untuk repatriasi dan deklarasi yang diinvestasikan kepada SBN/hilirisasi/renewable energy dikenakan tarif sebesar 12%.


Setelah menentukan termasuk kebijakan pertama atau kedua, langkah kedua yang harus dilakukan oleh wajib pajak adalah menginventarisasi jumlah harta dan hutang. Inventarisasi ini penting untuk menghitung besarnya harta bersih sebagai dasar pengenaan pajak. Bagi wajib pajak yang mengikuti kebijakan pertama, maka besarnya Dasar Pengenaan Pajak (DPP) maksimal sebesar 50% dari harta dikurangi hutang. Sedangkan bagi wajib pajak yang mengikuti kebijakan kedua, maka besarnya DPP adalah sebesar harta dikurangi hutang.


Langkah ketiga yang perlu dilakukan oleh wajib pajak adalah menghitung dan menyetor uang tebusan. Uang tebusan PPS dihitung dengan cara mengalikan tarif PPS dengan DPP PPS. Sebagai contoh, apabila wajib pajak pernah mengikuti amnesti pajak dan berniat untuk menginvestasikan hartanya dalam bentuk SBN maka besarnya uang tebusan adalah 6% dikalikan dengan harta bersih.


Langkah keempat yang harus dilakukan wajib pajak adalah mengisi surat pernyataan harta yang ada di Situs Web Pajak. Dalam formulir tersebut wajib pajak perlu mengisi daftar harta yang belum dilaporkan dalam SPT maupun amnesti pajak sekaligus mengisi Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) sebagai bukti pembayaran.


Setelah semua langkah dilakukan oleh wajib pajak, maka selanjutnya wajib pajak akan menerima surat keterangan dan wajib pajak dapat menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya dengan tenang.


Pada akhirnya kita berharap semoga PPS dapat berjalan dengan baik dan memberikan manfaat sebaik-baiknya kepada wajib pajak yang berpartisipasi mengikutinya.


*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

0 komentar: