Keramaian di dunia maya seolah tanpa henti. Belum reda pemberitaan tentang covid19, saat ini dunia maya dibisingkan oleh ramainya pemberita...

Apakah Perlu Negara Memajaki Ekonomi Digital?

 Keramaian di dunia maya seolah tanpa henti. Belum reda pemberitaan tentang covid19, saat ini dunia maya dibisingkan oleh ramainya pemberitaan bahwa negara akan memungut pajak atas aktifitas digital yang dilakukan oleh perusahaan digital seperti google dan Netflix. Publik khawatir jika Langkah negara ini akan berdampak pada naiknya harga komoditas digital seperti streaming film, iklan digital, game online dan lain sebagainya. Bahkan, public khawatir jika ketentuan ini akan berdapmak pada pemblokiran layanan digital. Lalu apa dan bagaimana sebenarnya pajak atas ekonomi digital tersebut?

Dasar hukum pemajakan ekonomi digital

Melalui perpu 1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas system keuangan untuk penanganan pandemic corona virus disease 19 (COVID-19) dan atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan atau stabilitas keuangan negara, pemerintah menyatakan akan mengenakan pajak pertambahan nilai terhadap pemanfaatan barang kena pajak maupun jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean melalui perdagangan melalui system elektronik. Hal ini berarti bahwa setiap 

Dua fungsi pajak

Sebagaimana kita ketahui bahwa pajak mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu fungsi budgetair dan fungsi regulerent. Fungsi budgetair berarti bahwa pajak digunakan untuk mengisi kas negara atau APBN. Sedangkan fungsi regurelent berarti pajak digunakan untuk mengatur kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

Ditinjau dari fungsi budgeter, pengenaan PPN terhadap aktifitas digital ini akan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap APBN. Bagaimana tidak, pada awal tahun 2020 lalu, Google, Temasek, Bain & Co melaporkan bahwa nilai dari digital economi Indonesia pada tahun 2019 mencapai 40 milliar USD. Hal ini sudah cukup membuktikan bahwa kegiatan digital ekonomi di Indonesia merpakan yang terbesar di Kawasan asia tenggara. Bahkan, Google et.al, memprediksikan bahwa pada tahun 2024, nilai dari digital ekonomi Indonesia akan mencapai 140 milliar USD. Jika kita menggunakan dengan kurs yang berlaku saat ini sebesar Rp 14.430, maka potensi PPN dari aktifitas digital ekonomi pada tahun 2019 adalah sebesar Rp 57,72 trilliun rupiah. Nilai ini cukup untuk memberikan bantuan langsung tunai terhadap 97 juta kepala keluarga yang terdampak covid 19.

Ditinjau dari fungsi regulerent, pemungutan PPN terhadap aktivitas digital ini akan memberikan keadilan bagi pelaku usaha dalam negeri. Bagaimana tidak, pada saat ini setiap penyerahan barang / jasa oleh pelaku usaha dalam negeri akan dikenakan PPN sebesar 10%, sementara pelaku usaha digital di luar negeri dengan seenaknya menjual barang/jasa digitalnya tanpa dikenakan PPN karena belum ada peraturan yang mengaturnya. Kesenjangan ini membuat daya saing pelaku usaha di dalam negeri relative lebih rendah daripada pelaku usaha luar negeri karena harga yang ditawarkan pengusaha di dalam negeri lebih mahal daripada harga yang ditawarkan pengusaha di luar negeri. 

Selain itu, pengenaan PPN terhadap pengusaha digital di luar negeri juga akan mengurangi eksternalitas yang ditimbulkan oleg ekonomi digital. Sebagaimana kita ketahui bahwa perkembangan dunia digital yang begitu cepat lambat laun menggerus ekonomi konfensional. Suratkabar digantikan oleh digital news. Toko – toko kelontong digantikan oleh ecommerce. 

Negara lain

Pada dasarnya, negara – negara lain pun sudah mengambil Langkah – Langkah untuk memajaki kegiatan digital ekonomi. Jepang misalnya, telah mengenakan pajak konsumsi sebesar 10% terhadap konsumsi barang – barang digital 

Kesepakatan OECD

Sampai dengan saat ini belum tercapai kesepakatan antara negara – negara OECD mengenai bagaimana aktifitas digital ini akan dipajaki. Sebagai akibatnya, masing – masing negara mengambil Langkah sepihak untuk mengamankan kepentingan perpajakannya dengan mengenakan PPN maupun PPh terhadap kegiatan digital ekonomi. Dalam jangka Panjang, kondisi seperti ini tidak akan menguntungkan otoritas pajak manapun karena kebijakan masing – masing negara yang berbeda – beda tersebut akan meningkatkan double taxation yang pada akhirnya akan meningkatkan tax disputes dan sebagai konsekuensi logisnya tax ratio pun akan rendah karena wajib pajak cenderung untuk menghindari pajak.


0 komentar: