Info Risiko Fiskal  


 

 


 

 

 


 GALIH ARDIN, Analis Dampak Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak Sumber: Republika Setahun lebih, pandemi Covid-19 melanda Indonesia sejak di...

 GALIH ARDIN, Analis Dampak Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak

Sumber: Republika

Setahun lebih, pandemi Covid-19 melanda Indonesia sejak diumumkan secara resmi masuk ke Indonesia pada Maret 2020. Sayangnya, pandemi global tersebut tidak menghantam sistem kesehatan semata.


Pembatasan aktivitas ekonomi masyarakat, anjloknya permintaan dan penawaran agregat, serta berkurangnya ekspor juga impor membuat aktivitas ekonomi melambat.


Berdasarkan laporan BPS (2021) pada triwulan II 2020 atau sesaat setelah Covid-19 dinyatakan masuk ke Indonesia, pertumbuhan ekonomi sempat berada di titik terendah, -5,67 persen.





Perlahan, pertumbuhan ekonomi meningkat sampai menyentuh 7,07 persen pada triwulan II  tahun 2021 (BPS, 2021). Bahkan, Bank Dunia (2021) optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pulih 4,4 persen pada 2021 dan akan menyentuh angka 5,0 persen pada 2022.


Namun, di tengah optimisme itu, pemulihan perekonomian masih dibayangi ketidakpastian dan resesi yang lebih dalam.

Kedua, pemda dapat melakukan penyesuaian tarif pajak dan retribusi daerah atas kegiatan, yang berpotensi meningkatkan penularan wabah Covid-19. Pada masa pandemi seperti saat ini, keinginan masyarakat melakukan aktivitas wisata tentu sangat besar.


Namun di sisi lain, peningkatan kegiatan pariwisata tanpa dibarengi protokol kesehatan yang ketat, akan berimbas pada naiknya penularan virus tersebut.


Karena itu, sepanjang belum bisa menerapkan dan mengawasi pelaksanaan protokol kesehatan di lokasi wisata dan hiburan, pemda dapat menyesuaikan tarif retribusi tempat wisata dan kegiatan hiburan sebagai bagian dari mitigasi penularan Covid-19.


Ketiga, pemda dapat memberikan insentif penurunan tarif PBB Pedesaan dan Perkotaan bagi tenaga kesehatan dan wajib pajak terdampak pandemi Covid-19.


Dalam kacamata teori mikroekonomi disebutkan, pemberian insentif perpajakan memberikan dua implikasi penting, yaitu income effect dan substitution effect.


Sepanjang objek tanah dan bangunan tidak elastis terhadap perubahan harga, penurunan tarif PBB memberikan income effect lebih besar bagi penerimanya, yaitu wajib pajak terdampak pandemi dan tenaga kesehatan yang berjuang melawan Covid-19.


Apabila ketiga langkah tersebut dilakukan konsisten dan serentak oleh seluruh pemda dengan koordinasi pemerintah pusat, tidak hanya berdampak positif terhadap upaya pencegahan penularan wabah Covid-19, tetapi juga menggerakkan roda ekonomi secara berkesinambungan dalam jangka menengah. Baca Selengkapnya

 

Berdasarkan laporan BPS (2021) pada triwulan II 2020 atau sesaat setelah Covid-19 dinyatakan masuk ke Indonesia, pertumbuhan ekonomi sempat berada di titik terendah, -5,67 persen.

  

Ancaman masuknya varian Mu serta mulai bergeliatnya aktivitas sosial ekonomi masyarakat, membuat pemerintah bekerja lebih keras menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, sekaligus menekan angka penularan Covid-19.


Salah satunya, menerbitkan insentif perpajakan. Namun sayangnya, kebijakan yang terangkum dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) itu belum menjamah kebijakan perpajakan daerah. Akibatnya, banyak kebijakan perpajakan daerah tumpang tindih.


Seolah race to the bottom, banyak pemerintah daerah (pemda) justru mengobral pajak dengan cara pemutihan pajak bumi dan bangunan serta pajak kendaraan bermotor, yang justru membuka peluang terjadinya tax planning dalam tataran pajak daerah serta kontraproduktif dengan upaya pemulihan nasional.


Padahal, kalau dikelola dengan baik, kebijakan perpajakan daerah dapat menjadi ujung tombak penanggulangan pandemi Covid-19 dan pemulihan nasional, terutama bidang ekonomi.


Pada dasarnya, kebijakan pajak dan retribusi daerah diatur Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2021. Lewat beleid ini, pemerintah pusat berwenang mengevaluasi dan menyesuaikan tarif pajak dan retribusi daerah guna mendukung program strategis nasional.


 

Padahal, kalau dikelola dengan baik, kebijakan perpajakan daerah dapat menjadi ujung tombak penanggulangan pandemi Covid-19 dan pemulihan nasional, terutama bidang ekonomi.

 

Agar kebijakan perpajakan dan retribusi daerah segaris dengan kebijakan pemerintah pusat dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, ada beberapa beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah.


Pertama, pemerintah daerah dapat memberikan insentif pajak dan retribusi daerah kepada sektor usaha terdampak pandemi, di antaranya makanan, minuman, dan penyediaan akomodasi yang pengelolaan pajaknya berada di tangan pemda.


BPS (2021) melaporkan, pada 2020, sektor tersebut mengalami kontraksi -4,56 persen. Untuk meringankan dampak tersebut, pemda bisa memberikan insentif berupa penurunan tarif pajak restoran dan pajak hotel yang selama ini menjadi kewenangannya.


Namun, insentif harus timely, targeted, dan temporary. Artinya, insentif hanya diberikan untuk restoran ataupun hotel yang menerapkan protokol kesehatan dan memenuhi kriteria CHSE (cleanliness, health, safety, dan environment) dalam waktu tertentu.


Kebijakan ini akan mendorong pengusaha berlomba menerapkan protokol kesehatan yang baik. Pada saat bersamaan, kebijakan ini akan mendorong konsumen untuk memilih restoran, hotel, tempat akomodasi lainnya yang menerapkan CHSE.

Oleh : Galih Ardin  Dipublikasikan oleh : detik.com Jakarta - Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah disahkan. Melalu...

Oleh : Galih Ardin 
Dipublikasikan oleh : detik.com

Jakarta - Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah disahkan. Melalui proses yang panjang, delibratif, diskursif, dan dinamis rancangan undang-undang yang sebelumnya bernama RUU Konsolidasi Fiskal tersebut akhirnya diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021. Terdapat beberapa isu baru dalam peraturan tersebut, salah satunya penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Melalui beleid tersebut pemerintah mengatur bahwa NPWP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan penduduk Indonesia adalah dengan menggunakan NIK. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1a) UU HPP. Lebih lanjut, di dalam Pasal 2 ayat (10) juga disebutkan bahwa dalam rangka penggunaan NIK sebagai NPWP, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri wajib memberikan data kependudukan dan data balikan kepada Menteri Keuangan untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan.



Guna mendukung rencana integrasi NIK dengan NPWP tersebut, pada awal September 2021 pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2021 tentang Pencantuman dan Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan dan/atau Nomor Pokok Wajib Pajak dalam Pelayanan Publik. Melalui regulasi tersebut pemerintah mengatur bahwa untuk mendapatkan pelayanan publik seperti perizinan, masyarakat harus mencantumkan NIK dan/atau NPWP. Di dalam konsideransnya disebutkan bahwa tujuan dari peraturan ini adalah untuk mewujudkan standardisasi dan integrasi nomor identitas yang digunakan sebagai kode referensi layanan publik.


Beberapa negara telah terlebih dahulu menerapkan single identity number dalam layanan publik dan perpajakan. Jepang misalnya, telah mengintegrasikan layanan social security dengan layanan perpajakan melalui My Number System (OECD, 2021). Melalui sistem tersebut, Wajib Pajak harus mencantumkan nomor My Number apabila ingin memanfaatkan layanan perpajakan dan layanan perlindungan sosial. Demikian halnya dengan Kanada yang telah menerapkan Social Insurance Number (SIN) terhadap pelayanan publik sejak 1967 (Government of Canada, 2020).


Namun demikian, rencana penggunaan NIK sebagai identitas perpajakan bukan tanpa masalah. Besarnya jumlah angkatan kerja di Indonesia, keterbatasan sistem administrasi perpajakan, sampai dengan kerentanan proses integrasi data perpajakan dan data kependudukan menjadi tantangan utama proses integrasi tersebut.


Berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada 2020 diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia pada 2020 adalah sebesar 271,35 juta jiwa atau mengalami peningkatan sebesar 33,51 juta jiwa dibandingkan dengan Sensus Penduduk 2010 (BPS, 2021). Dari 271,35 juta jiwa penduduk tersebut, 70,72% merupakan angkatan kerja (workforce) atau penduduk usia produktif yang berusia antara 15 sampai dengan 65 tahun.


Apabila diasumsikan bahwa penduduk usia produktif tersebut merupakan penduduk yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif perpajakan, maka paling tidak pemerintah harus menyediakan 191,89 juta slot NPWP Orang Pribadi untuk mengakomodasi ketentuan integrasi NIK dengan NPWP. Padahal, sampai dengan 2021 jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi yang diadministrasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) baru sebesar 45,43 juta (DDTC, 2021).


Peningkatan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi yang disebabkan karena integrasi NIK dan NPWP tersebut tentunya harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas SDM maupun kapasitas teknologi informasi. Untungnya, pada saat ini DJP sedang mengembangkan sebuah core tax system yang bernama Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP). Sistem ini digadang-gadang mampu mengadministrasikan jutaan Wajib Pajak sekaligus melakukan pemantauan kepatuhan Wajib Pajak tersebut. Sayangnya, sistem tersebut baru akan mulai beroperasi secara bertahap pada pertengahan 2023 (DDTC, 2021).


Kendala kedua yang timbul dari integrasi NIK dan NPWP adalah potensi peningkatan administrative cost dan compliance cost. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada 2020 diketahui bahwa 56,1% penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa dan 91,32% penduduk berdomisili sesuai dengan Kartu Keluarga (BPS, 2021). Apabila kedua fakta ini dihubungkan dengan rencana pengintegrasian NIK dengan NPWP, maka agaknya kita dapat menarik kesimpulan awal bahwa kantor-kantor pajak di Pulau Jawa akan mempunyai beban administrasi yang lebih besar daripada kantor pajak yang berada di luar Pulau Jawa.


Dalam jangka pendek, ketimpangan beban administrasi perpajakan tersebut akan menyebabkan peningkatan administrative cost atau beban yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengadministrasikan Wajib Pajak dan melakukan penagihan pajak (Evans, 2008).


Selain itu, pengintegrasian NIK dan NPWP sedikit banyak juga akan meningkatkan compliance cost dari Wajib Pajak. Studi yang dilakukan oleh Evans (2003) menunjukkan bahwa faktor utama yang menyebabkan peningkatan compliance cost pada Wajib Pajak Orang Pribadi di Australia adalah frekuensi perubahan peraturan.


Selain integrasi NIK dengan NPWP, dalam beberapa tahun belakangan ini, peraturan perpajakan diwarnai beberapa perubahan yang signifikan baik melalui UU Cipta Kerja maupun UU HPP. Potensi peningkatan compliance cost ini tentu saja perlu dimitigasi oleh pemerintah dengan menerbitkan aturan turunan yang memenuhi kaidah four canon of taxation sebagaimana dijelaskan oleh Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nation.


Permasalahan ketiga yang kemungkinan timbul dari integrasi NIK dengan NPWP adalah proses integrasi dan kerahasiaan data. Bukan rahasia umum lagi bahwa kerahasiaan data di Indonesia merupakan hal yang krusial. Beberapa kali kita mendengar bahwa terjadi kebocoran data masyarakat. Bahkan, pada pertengahan Mei 2021 dilaporkan bahwa terjadi kebocoran 279 juta masyarakat Indonesia (BBC, 2021).


Berdasarkan hal tersebut di atas, untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses pengintegrasian data kependudukan dan perpajakan, pada dasarnya ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus dapat meyakinkan kepada masyarakat bahwa proses pengintegrasian data kependudukan dan perpajakan berjalan secara aman, transparan dan akuntabel. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat, mengurangi risiko kebocoran data dan menjaga tingkat kepatuhan Wajib Pajak.


Kedua, pemerintah, dalam hal ini DJP dan Kementerian Keuangan harus bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa sistem administrasi perpajakan yang baru dapat beroperasi dengan segera. Hal ini dikarenakan begitu proses integrasi data kependudukan dan perpajakan dimulai, DJP harus siap untuk mengadministrasikan jutaan Wajib Pajak baru. Selain itu, pengaplikasian PSIAP tersebut diharapkan mampu mengurangi administrative cost yang kemungkinan timbul.


Ketiga, dalam jangka panjang DJP harus mampu bertransformasi dengan mengembangkan seluruh layanan perpajakan secara digital. Digitalisasi dan otomasi layanan perpajakan dapat memberikan trigger kepada Wajib Pajak untuk melakukan kewajiban perpajakannya secara mandiri dan efisien. Selain itu, menurut studi yang dilakukan oleh Lazos, et al (2020), tingkat layanan elektronik dalam administrasi perpajakan menentukan tinggi rendahnya compliance cost Wajib Pajak yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kepatuhan Wajib Pajak.


Pada saat ini beberapa bank di Indonesia sudah mulai mengembangkan layanan perbankan digital. Sehingga, nasabah tidak perlu datang lagi ke bank untuk mendapatkan layanan. Oleh sebab itu, sudah selayaknya DJP bertransformasi dengan mengembangkan layanan kantor pajak digital. Pada akhirnya kita berharap semoga proses integrasi NIK dan NPWP akan mampu meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, menurunkan compliance cost dan administrative cost serta mewujudkan single identity number dalam layanan publik.


Galih Ardin Strategic Account Representative


Baca artikel detiknews, "Mencermati Rencana Integrasi NIK dan NPWP" selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-5821616/mencermati-rencana-integrasi-nik-dan-npwp.


Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

Oleh: Galih Ardin Dipublikasikan oleh: detik.com Jakarta - Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah disahkan. Melalui p...

Oleh: Galih Ardin
Dipublikasikan oleh: detik.com

Jakarta - Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah disahkan. Melalui proses yang panjang, deliberatif, diskursif, dan dinamis rancangan undang-undang yang sebelumnya bernama RUU KUP itu pada akhirnya dibawa ke rapat paripurna oleh Pemerintah bersama dengan DPR. Terdapat beberapa isu baru dalam undang-undang tersebut, di antaranya program pengungkapan harta secara sukarela atau yang biasa disebut amnesti pajak.
Meskipun isu pengungkapan harta secara sukarela merupakan salah satu isu yang mengalami perdebatan panjang di DPR, pada akhirnya DPR menyetujuinya.


Menilik dari sejarahnya, pada dasarnya Pemerintah RI sudah pernah menyelenggarakan beberapa bentuk pengampunan pajak seperti Pengampunan Pajak 1964, Pengampunan Pajak 1984, Sunset Policy 2008, Reinventing Policy 2015, dan Amnesti Pajak 2016. Khusus mengenai Amnesti Pajak, melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, pemerintah memberikan pengampunan berupa penghapusan sanksi administrasi dan sanksi pidana perpajakan kepada Wajib Pajak yang dengan sukarela melaporkan hartanya dengan uang tebusan berkisar antara 2% sampai dengan 5%.

Pemerintah mengklaim bahwa tax amnesty tahun 2016 tersebut merupakan salah satu tax amnesty yang paling berhasil di dunia dengan capaian uang tebusan sebesar Rp 114 triliun, deklarasi harta sebesar Rp 4.813 triliun, dan repatriasi harta sebesar Rp 146 triliun (Kemkominfo, 2017).

Pada dasarnya, kebijakan pengampunan atau amnesti pajak merupakan praktik yang lazim dilakukan oleh berbagai negara. Bahkan, Italia tercatat telah menyelenggarakan amnesti pajak sebanyak 59 kali semenjak permulaan abad ke-20 (Malherbe, 2011). Hal ini berarti secara rata-rata Italia menyelenggarakan amnesti pajak setiap dua tahun sekali. Negara lain yang telah beberapa kali melakukan amnesti pajak adalah India. Pada 1997 pemerintah India menyelenggarakan tax amnesty setelah 3 kali menyelenggarakan amnesti pada 1965, 1875, dan 1985 (Mookherjee & Das-Gupta, 1995).

Meskipun pengampunan pajak merupakan praktik yang wajar, namun penelitian menunjukkan bahwa program pengampunan pajak yang terlampau sering dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap perilaku kepatuhan Wajib Pajak (Parle & Hirlinger, 1986). Oleh karena itu, apabila pemerintah bersama DPR berencana untuk menyelenggarakan program pengungkapan harta secara sukarela, paling tidak ada beberapa hal yang dapat dilakukan agar program pengampunan pajak tersebut dapat diterima oleh Wajib Pajak.

Pertama, pemerintah harus secara jelas menentukan target dari pengampunan pajak kali ini apakah terhadap Wajib Pajak yang mempunyai tunggakan pajak atau terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kepatuhan yang rendah namun belum terjamah instrumen perpajakan. Selain itu, dalam program pengampunan kali ini, pemerintah juga harus secara jelas menentukan sasaran program ini, apakah terhadap Wajib Pajak Dalam Negeri atau Wajib Pajak Luar Negeri.

Sebagaimana diketahui bahwa Google, Temasek, Bain & Co (2020) memperkirakan bahwa pada 2025 mendatang, nilai dari digital ekonomi di Indonesia mencapai 124 miliar dolar AD atau setara dengan Rp 1.810 triliun. Menurut Google et.al., (2020), nilai digital economy ini merupakan yang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, program pengampunan kali ini dapat diarahkan untuk menyasar Wajib Pajak yang berkecimpung dalam digital platform namun belum terjamah aturan perpajakan seperti youtuber, selebgram, pedagang marketplace, maupun raksasa digital dari luar negeri.

Kedua, pemerintah harus secara jelas menentukan scope dari program pengampunan kali ini. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 telah secara jelas mengatur bahwa Wajib Pajak yang mengikuti amnesti pajak pada 2016 tidak akan dilakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukper, dan penyidikan untuk 2015 dan sebelumnya. Oleh karena itu, guna memupuk rasa percaya Wajib Pajak yang telah mengikuti tax amnesty pada 2016 silam serta Wajib Pajak yang selama ini patuh, pemerintah dapat mengecualikan Wajib Pajak yang telah mengikuti amnesti pada 2016 sebagai peserta amnesti kali ini.

Ketiga, tarif pengampunan pajak pajak harus cukup rendah untuk menarik minat dan simpati masyarakat. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam situasi pandemi dan ketidakpastian ekonomi seperti ini, Wajib Pajak cenderung memilih untuk menyimpan cash daripada untuk membelanjakannya. Namun demikian, tarif tersebut tidak boleh lebih rendah daripada tax amnesty pada 2016 untuk mencegah negative behavioral effect Wajib Pajak yang selama ini patuh.

Keempat, dalam suasana social distancing seperti saat ini, prosedur penyampaian laporan pengungkapan sukarela harus dibuat semudah mungkin dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Misalnya, Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan Harta melalui akun DJP online secara mandiri dengan melampirkan bukti pendukung sehingga Wajib Pajak tidak perlu datang ke kantor pajak. Namun demikian, pemerintah juga perlu memitigasi risiko Wajib Pajak yang kesulitan dalam menyampaikan SPH-nya secara online dengan membuka pelayanan amnesti pajak offline secara terbatas.

Kelima, perlu strategi komunikasi yang efektif untuk menyampaikan program pengampunan pajak kali ini. Apabila target dari amnesti pajak adalah pelaku digital platform, maka pemerintah dapat menggunakan platform tersebut untuk mengkampanyekan program pengampunan. Lebih lanjut, dalam kondisi resesi ekonomi seperti saat ini, pemerintah perlu membangun ruang narasi bahwa tujuan utama dari program pengampunan kali ini adalah untuk mewujudkan keadilan sekaligus mendongkrak pertumbuhan ekonomi melalui penerimaan pajak yang berkelanjutan.

Galih Ardin analis dampak kebijakan

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

Oleh : Galih Ardin Dipublikasikan oleh : Kompas  Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD) telah disahkan oleh pemerintah b...

Oleh : Galih Ardin
Dipublikasikan oleh : Kompas

 Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD) telah disahkan oleh pemerintah bersama DPR. Melalui UU yang lahir pada masa pandemi ini, pemerintah berharap bisa mendorong pengalokasian sumber daya nasional dengan lebih efektif dan efisien melalui hubungan keuangan pusat dan daerah yang lebih transparan, akuntabel, dan berkeadilan.



Terdapat beberapa perubahan dalam UU ini, salah satunya adalah besaran dana bagi hasil (DBH) yang bersumber dari pajak. Pasal 14 UU HKPD mengatur DBH yang bersumber dari pajak terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), PPh Pasal 21, serta PPh Pasal 25 dan 29 Orang Pribadi.


Lebih lanjut, dalam UU HKPD juga diatur bahwa DBH yang bersumber dari PBB ditetapkan 90 persen dengan rincian 18 persen untuk provinsi dan 72 persen untuk kabupaten atau kota bersangkutan. Di sisi lain, DBH yang bersumber dari PPh Pasal 21, PPh Pasal 25/29 orang pribadi ditetapkan sebesar 20 persen dengan rincian 8 persen untuk provinsi dan 12 persen untuk kabupaten/kota bersangkutan.


Meningkatkan kapasitas keuangan daerah


Pada dasarnya bagi hasil pajak bukan hal baru di Indonesia. Jauh sebelum PBB sektor perdesaan dan perkotaan dialihkan pengelolaannya ke pemerintah daerah, pemerintah pusat telah memberikan bagi hasil PBB dan PPh kepada pemda bersangkutan melalui UU No 33/2004. Tujuannya jelas, untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah.


Berkaca dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2020 diketahui bahwa penerimaan PBB pada 2020 adalah Rp 20,95 triliun (Kementerian Keuangan, 2021). Di sisi lain, penerimaan PPh Pasal 21 sebesar Rp 139,58 triliun dan penerimaan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi Rp 11,86 triliun.


Apabila diasumsikan bahwa penerimaan perpajakan tahun berikutnya sama dengan 2020, paling tidak pemda akan menerima Rp 18,85 triliun dari DBH PBB, Rp 27,92 triliun dari DBH PPh Pasal 21 dan Rp 2,32 triliun dari DBH PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi.


Tantangan di lapangan


Sampai di sini kita dapat melihat bahwa pemberian DBH yang bersumber dari pajak akan meningkatkan kapasitas keuangan pemda berkali lipat.


Meski demikian, pemberian DBH itu bukan tanpa tantangan. Perbedaan potensi ekonomi dan jumlah penduduk usia produktif setiap daerah, ketergantungan keuangan daerah pada DBH perpajakan, serta potensi kebijakan circular membuat pemberian DBH pajak justru semakin memperuncing disparitas ekonomi setiap daerah.


Sebagaimana diketahui bahwa sesaat sebelum UU KHPD disahkan, pemerintah bersama DPR telah mengesahkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Salah satu isu yang diangkat dalam UU HPP adalah penggunaan NIK sebagai NPWP. Secara logis, penggunaan NIK sebagai NPWP ini akan meningkatkan jumlah wajib pajak orang pribadi yang pada akhirnya akan meningkatkan setoran PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25 Orang Pribadi.


Selanjutnya, berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan BPS pada 2020 juga diketahui bahwa 56,1 persen penduduk Indonesia terkonsentrasi di Jawa dan 91,32 persen penduduk berdomisili sesuai kartu keluarga (BPS, 2021).


Apabila ketiga fakta ini kita hubungkan, agaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwa pemerintah daerah yang berada di Pulau Jawa akan mendapatkan DBH perpajakan yang lebih besar. Di sisi lain, pemda dengan jumlah penduduk rendah umumnya akan menerima DBH perpajakan yang rendah yang pada akhirnya akan memperlebar jurang ketimpangan antardaerah.


Tantangan kedua yang mungkin timbul adalah adanya kebijakan yang saling memengaruhi antara pemerintah pusat dengan pemda. Dengan adanya DBH perpajakan, sedikit banyak pemda akan bergantung kepada pemerintah pusat dalam hal pembiayaan APBD.


Di sisi lain, pemda juga mempunyai kewenangan untuk menerbitkan kebijakan yang berdampak terhadap penerimaan pajak terutama dalam hal kemudahan berusaha, penetapan upah minimum regional (UMR) dan penerbitan surat keterangan domisili (SKD).


Memang, pada saat ini umumnya UMR masih berada di bawah pendapatan tidak kena pajak (PTKP). Tapi bukan tak mungkin suatu saat UMR di suatu daerah akan melebihi PTKP yang pada akhirnya menyebabkan stuck in policy circle.


Reformasi perpajakan daerah


Untuk mengatasi tantangan tersebut, pada dasarnya ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan. Pertama, di samping memberikan DBH perpajakan, pemerintah juga perlu mengoptimalkan penerimaan pajak yang pungut oleh pemda dengan cara melakukan reformasi sistem perpajakan daerah.


Reformasi tersebut dapat dimulai dengan menetapkan standar pendaftaran, pengawasan, pemungutan, dan pelaporan pajak daerah yang terintegrasi. Hal ini dimaksudkan agar terjadi kesamaan persepsi antar daerah mengenai subyek obyek pajak daerah.


Kedua, alih-alih memberikan DBH PPh Pasal 25 Orang Pribadi, akan lebih baik apabila pemerintah memberikan DBH PPh Final PP 23 UMKM. Hal ini bertujuan agar DBH tersebut dapat digunakan kembali oleh pemda setempat untuk pengembangan UMKM yang umumnya menjadi fondasi dan roda penggerak perekonomian daerah. Di saat industri besar bertumbangan pada masa krisis ekonomi 1998, UMKM terbukti tangguh dalam melewati krisis tersebut (Boediono, 2016).


Di saat industri besar bertumbangan pada masa krisis ekonomi 1998, UMKM terbukti tangguh dalam melewati krisis tersebut (Boediono, 2016).


Ketiga, pemerintah perlu menjaga agar tak terjadi stuck dalam policy circle dengan cara memberikan kewenangan ke pemerintah pusat untuk melakukan pengaturan ulang peraturan daerah yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih.


Pada akhirnya, kita berharap semoga ketentuan sebagaimana diatur dalam UU HKPD akan meningkatkan kemandirian, transparansi, akuntabilitas dan profesionalitas pengelolaan keuangan daerah yang  berdampak positif pada pelayanan publik di daerah.