Oleh: Galih Ardin Dipublikasikan oleh: pajak.go.id  Pemerintah kembali memperpanjang insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atas...

Dampak Berlipat Insentif Pajak Kendaraan Bermotor

Oleh: Galih Ardin
Dipublikasikan oleh: pajak.go.id 

Pemerintah kembali memperpanjang insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atas kendaraan bermotor (Kemenperin, 2022).


Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 05/PMK.03/2022 pemerintah memperpanjang pemberian insentif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) terhadap penjualan kendaraan bermotor roda empat.


Terdapat dua kategori utama kendaraan yang diberikan insentif. Pertama, pemerintah memberikan insentif PPnBM Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 100% bagi kendaraan low cost green car (LCGC) dengan harga di bawah Rp200 juta. 


Kedua, insentif PPnBM DTP sebesar 50% bagi kendaraan roda empat dengan harga sampai dengan Rp250 juta. Tujuannya jelas, untuk mendongkrak konsumsi kelas menengah ke atas yang pada akhirnya akan memberikan multiplier effect terhadap pertumbuhan ekonomi.


Harus diakui bahwa pemberian insentif PPnBM bagi kendaraan roda empat pada tahun 2021 mampu mendongkrak penjualan mobil. Gaikindo (2022) mencatat bahwa selama tahun 2021 terjadi peningkatan penjualan mobil sebesar 49,3% dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya.


Gaikindo juga melaporkan bahwa total penjualan mobil pada tahun 2021 mencapai 863.386 unit. Padahal, pada tahun 2020 jumlah penjualan mobil hanya mencapai 578.327 unit. Bahkan, Gaikindo menyampaikan bahwa kenaikan penjualan kendaraan roda empat tersebut langsung terasa sesaat setelah pemerintah memberikan relaksasi PPnBM kendaraan bermotor.


Namun demikian, dampak positif ini belum terjadi pada industri pembiayaan keuangan kendaraan roda empat. OJK (2022) melaporkan bahwa pada sampai dengan November 2021 nilai pembiayaan untuk mobil baru dan bekas masing-masing adalah sebesar Rp110,45 triliun dan Rp54,27 triliun. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya nilai pembiayaan untuk mobil baru dan bekas adalah sebesar Rp113,66 trilliun dan Rp58,07 trilliun.

Di samping itu, BPS (2022) juga melaporkan bahwa sampai dengan kuartal ketiga tahun 2021 proporsi Gross Domestic Product (GDP) dari sektor perdagangan mobil, motor, dan reparasi hanya sebesar 2,41% dari total GDP.


Lebih lanjut, BPS (2022) mencatat bahwa pada kuartal pertama tahun 2021 nilai PDB riil atas sektor perdagangan mobil, sepeda motor, dan reparasi adalah sebesar Rp98,69 triliun. Nilai ini kemudian merangkak naik seiring dengan diterbitkannya insentif PPnBM kendaraan bermotor menjadi Rp100,26 triliun pada kuartal kedua tahun 2021 dan Rp102,01 triliun pada kuartal ketiga tahun yang sama.


Belum signifikannya kontribusi PDB sektor perdagangan kendaraan bermotor serta menurunnya jumlah pembiayaan keuangan mobil baru dan bekas pada tahun 2021 menimbulkan pertanyaan baru, “Apakah insentif PPnBM kendaraan bermotor mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi di tahun 2022?”


Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus menggunakan kacamata makro ekonomi dan keuangan publik. Memang, sektor industri yang menerima manfaat langsung dari pemberian stimulus PPnBM DTP tersebut adalah sektor perdagangan kendaraan bermotor dan pembiayaan keuangan. Namun demikian, kita juga perlu melihat bahwa terdapat beberapa industri lain yang turut menyokong sektor otomotif seperti industri logam dasar, karet, mesin dan perlengkapan, sampai dengan industri alat angkutan. BPS (2022) mencatat bahwa pada sampai dengan kuartal ketiga tahun 2021, PDB sektor logam dasar mengalami pertumbuhan sebesar 13%. Selain itu, PDB sektor industri karet juga mampu tumbuh sebesar 10%.


Selanjutnya, untuk menghitung dampak pemberian stimulus PPnBM DTP terhadap perekonomian, kita juga dapat menggunakan pendekatan multipliers effect dengan cara menyandingkan perubahan GDP (∆Y) dengan perubahan belanja pemerintah (∆G). Dalam hal ini, multiplier effect dihitung dengan cara membagi perubahan GDP sektor perdagangan mobil dengan tax expenditure atas kebijakan tersebut. 


Berdasarkan data BPS (2022) diketahui bahwa kenaikan GDP sektor perdagangan mobil pada tahun 2021 yoy adalah sebesarRp 206,40 triliun. Di sisi lain, anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah untuk mendukung kebijakan PPnBM DPT adalah sebesar Rp6,5 triliun. Sehingga, secara sederhana, multiplier effect atas kebijakan diskon PPnBM terhadap sektor perdagangan kendaraan bermotor adalah sebesar 31,75 kali.


Sampai di sini kita dapat melihat bahwa insentif PPnBM kendaraan bermotor telah memberikan dampak yang berlipat terhadap sektor perdagangan kendaraan bermotor dan sektor industri pendukung lainnya. Oleh karenanya, pemerintah memperpanjang pemberian insentif ini pada tahun 2022 untuk memperbesar multiplier effect yang diharapkan.


Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa pemberian insentif ini harus bersifat timely, targeted, dan temporary. Hal ini dikarenakan insentif bersifat seperti candu. Artinya, insentif dapat menimbulkan dampak ketergantungan bagi pelaku ekonomi yang menerima insentif tersebut apabila diberikan dalam jangka panjang. 


Selain itu, pemberian insentif PPnBM kendaraan bermotor dalam jangka waktu lama juga akan menjadikan dampak yang diharapkan dari pemberian insentif terdilusi oleh kenaikan harga kendaraan bermotor. Terlebih, Kementerian Perindustrian baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 36 Tahun 2021 yang antara lain mengatur bahwa harga jual kendaraan LCGC yang semula paling tinggi Rp95 juta naik menjadi Rp135 juta.


Lebih lanjut, dalam rangka mendukung pajak karbon sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), maka pemberian insentif PPnBM DTP atas kendaraan bermotor harus memiliki jangka waktu dan target yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar terjadi keselarasan antara pemberian insentif dengan rencana pengenaan pajak karbon.


Akhirnya, kita berharap agar pemberian insentif fiskal kendaraan bermotor tidak hanya mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi pada sektor otomotif, tetapi juga mampu menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi sektor lainnya dan meredam goncangan ekonomi sebagai akibat pandemi Covid-19.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

0 komentar: